AKULTURASI BUDAYA ISLAM DI INDONESIA
FORTOFOLIO
ISLAM DI INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Tema:
Akulturasi Budaya Islam di Indonesia
Pelaksanaan:
Waktu : Rabu 30 Maret 2011, Pukul 09.00 s/d 13.30 WIB
Tempat : Auditorium UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
Peserta :
1. ……………..
2. ……………..
3. ……………..
4. ……………..
Hasil:
Akulturasi
merupakan perpaduan dua budaya dimana kedua unsur kebudayaan bertemu dapat
hidup berdampingan dan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur
asli dari kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di
Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan dan
penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur
asli.[1]
Proses
sosial itu tentu sudah ada sejak dulu dalam sejarah kebudayaan manusia. Suatu
kelompok manusia yang merupakan suatu masyarakat dengan suatu bentuk kebudayaan
tertentu, tentu memiliki kelompok-kelompok tetangga dengan bentuk-bentuk
kebudayaan yang lain. Pada perbatasan daerah-daerah tempat tinggal
kelompok-kelompok itu selalu ada individu-individu yang terkena pengaruh unsur-unsur
kebudayaan tetangga, sehingga di daerah-daerah perbatasan selalu ada berbagai
proses akulturasi. Budaya sendiri memiliki beberapa arti kata yang dapat
ditemukan dalam kamus-kamus antara lain, pikiran, akal, budi, sedangkan arti
kata kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia (seperti
kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dsb)[2]
Unsur
budaya islam tersebar di Jawa seiring dengan masuknya islam di Indonesia. Secara
kelompok, dalam masyarakat jawa telah mengental unsure budaya Islam semenjak
mereka berhubungan dengan para pedagang yang sekaligus menjadi mubaligh pada
taraf penyiaran Islam yang pertama kali. Tergesernya nilai-nilai tradisional
Jawa di lingkungan keraton maupun masyarakat, menyebabkan para pujangga istana
dan raja berusaha menangkal pengaruh budaya asing yang dapat menghilangkan
identitas budaya Jawa dengan jalan menulis serat-serat piwulang agar dapat
dijadikan pedoman bagi masyarakat, sehingga mereka tidak mudah meninggalkan
nilai-nilai luhur yang selama itu dilestarikan. [3]
Dalam
kenyataannya bahwa cultural Indonesia lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat
ritual, yang pemikirannya selalu diukur dari tradisi dan peradaban yang sudah
ada sejak turun temurun.[4] Sehingga
usaha untuk merasionalisasi manusia bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, tidak
semua manusia mampu dan mudah untuk mencerahkan diri pada pemikirannya.
Proses
akulturasi budaya di Indonesia terdapat 3 fase, alami, edukasi dan organisasi.
1.
Fase alami
Agama islam dengan
perangkat budayanya dibawa oleh para pedagang yang dating kepulauan Indonesia.
Meskipun tujuan utamanya adalah berdagang, tetapi tugas menyampaikan agama itu
tidak dapat ditinggalkan. Mereka merasa berkewajiban untuk menyampaikan agama
islam seperti disabdakan nabi Muhammad SAW “sampaikanlah olehmu apa yang dating
dari saya meskipun satu ayat” dengan perintah ini para mubaligh bergerak untuk
menyampaikan ajaran-ajaran islam yang biasa dilakukan pada waktu senja yaitu
saa-saat senggang dari kesibukan perdagangan. Dalam berdakwah mereka tidak
terganggu oleh keperluan-keperluan ekonomi dari dakwak tersebut lama kelamaan
terbentuk kelompok-kelompok dengan bimbingan dari mubaligh tertentu yang
kemudian tersebar secara alami.[5]
2.
Fase edukasi
karena dakwah islamiyah berkembang terus dan
meluas disegenap penjuru tanah air, maka demi kelangsungan dakwah dilakukan
pengkaderan beberapa mubaligh, mereka dididik secara khusus disamping ilmu
agama islam diajarkan juga sirah nabawiah sebagai teladan dakwah islamiyyah. Tokoh-tokoh
yang terkenal Hamzah Fansuri, Abdur Rauf Singkel, Nuruddin Arraniri, dalam
pendidikan islam mereka cenderung pada aliran tasawuf, hal ini menunjukkan
bahwa mereka datang dari Gujarat suatu tempat yang banyak dipengaruhi oleh
aliran tasawuf, di Jawa penyebar ajaran islam dikenal dengan sebutan
wali.Perkumpulan para wali yang terkenal adalah walisanga, yang masing-masing
dipanggil dengan sebutan sunan. Tempat pendidikannya disebut pesantren atau
pondok. Materi-materi yang dipelajari: dimulai dari al-qur’an, Bahasa Arab,
Ilmu fiqih dari 4 madzhab, kemudian dilanjutkan dengan Aqaid,akhlak,tasawuf. Percampuran
budaya yang terjadi hanyalah antara pendidikan Islam dengan budaya pribumi[6]
3.
Organisasi
Di kota-kota,
masyarakat mendirikan madrasah-madrasah yang dibina dan dikembangkan secara modern
oleh lembaga-lemaga Islam seperti Muhammadiyah, Persis, NU, dan sebagainya. Di
samping agama Islam, mereka juga mempelajari, pengetahuan umum, seperti baca
tulis huruf latin, ilmu hitung, ilmu bumi dan sejarah, sehingga lebih banyak
mengalami pencampuran budaya dengan pendidikan barat. Dalam perkembangan
terbatas pesantren dan madrasah dapat dikelola dan diurus oleh per orang yang
terkenal dengan sebutan kiai(berasal dari bahasa persi kia yang berarti
orang yang menonjol dalam suatu bidang). Sejalan dengan perkembangan pesantren
atau madrasah tidak lagi dapat diurusi oleh perorangan sehingga dibentuklah
organisasi yang bergerak dalam pendidikan Islam. Dalam fase ini, pencampuran
budaya dengan dunia barat lebih terbuka karena banyak menggunakan peralatan
yang datang dari Eropa, baik secara utuh maupun melalui penyesuaian dengn
pengucapan mereka, seperti dokar (dog+car), pantolan (celana), dll.[7]
Disamping itu,dalam membentuk organisasi
diperlukan adanya aturan yang harusdipenuhi, seperti keorganisasian,
administrasi, komunikasi, manajemen, financial, dan sebagainya. Semua ini
banyak diadaptasi dari budaya barat, terutama yang sudah diambil alihkaum
muslim di Mesirdan India. Proses pembentukan organisasi yang sudah tercampur
dengan budaya Islam ini, menyebabkan terjadinya cara hidup baru yang lebih
modern. Dengan proses modernisasi, bimbingan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan
Hadits, dikembangkan dengan pola pemikiran baru sehingga memunculkan gerakan-gerakan
Islam yang lebih solid. Proses pencampuran budaya lebih cepat terjadi pada
pesantren dan madrasah yang berorientasi pada system modern, dibanding dengan
masyarakat yang mengikuti system tradisional. Karena budaya yang datang dari
Barat dianggap sebagai sesuatu yang baru dan menarik perhatian. Pemikiran barat
yang memasuki Indonesia ikut memberikan pengaruh pada moral bangsa karena
banyak menghilangkan pandangan yang tadinya berupa kebiasaan yang turun
temurun.[8]
Moral yang datang dari
barat yang tidak sesuai dengan pandangan Islam seperti membuka aurat, dansa dll
dibendung agar tidak berkemang di Indonesia, sedangkan moral yang paralel
dengan moral Islam dibiarkan menjadi bagian moral bangsa Indonesia. Dengan
demikian dapat dikatakan Islam sebagai filter bagi masuknya budaya asing.
Disinilah letak keistimewaan perkembangan Islam di Indonesia yang memberikan
kesempatan yang sangat lebar bagi pemikiran yang dapat mengarahkan pemikirannya
melalui pencampuran budaya yang bersifat integratif.[9]
Sifat Akulturasi Budaya Islam di Indonesia, budaya yang berkembang di Indonesia merupakan akulturasi dari
berbagai macam budaya yang sangat kompleks, karena Indonesia merupakan jalur
lalu lintas perdagangan dan persinggahan para penjelajah,namun seleksi alam
(natural selection) tetap berlaku. Dalam beberapa aspek proses akulturasi
budaya terjadi secara damai (penetration pacifique). Satu sisi, adakalanya pula
akulturasi keduanya mementuk budaya baru yang memiliki corak-corak
tersendiri,yang tidak dapat dipisahkan lagi,mana yang datang dari luar dan mana
yang asli. Proses percampuran
berbagai macam budaya itu dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Didominasi oleh budaya Islam. Hal ini dapat dilihat
dalam ritual-ritual Islam, seperti peralatan yang digunakan saat shalat
(sajadah, tasbih, dan sebagainya), kelembagaan zakat,wakaf,dan pelaksanaan
haji.
2.
Percampuran antara kedua budaya seperti bangunan
masjid, bentuk joglo,pakaian,lagu, kasidah,tahlil dan sebagainya.
3.
Membentuk corak kebudayaan tersendiri, seperti system
pemerintahan (pancasila), system permusyawaratan, dan sebagaianya.
Keinginan manusia,
mengetahui alam sekitar, mendorong untuk berkelana, maka terjadi kontak budaya
dengan suku-suku atau bangsa lain. Dengan demikian percampuran kebudayaan
terjadi secara alami. Ada kalanya budaya yang lebih tinggi mengalahkan yang
lebih rendah, tetapi ada kalanya pula terjadi akulturasi yang sama kuatnya,
sehingga membentuk budaya baru yang masing-masing budaya ikut mewarnai budaya
yang baru itu secara berimbang.
Dengan demikian berlaku ketentuan akulturasi budaya di indonesia terjadi
melalui proses seleksi alam, dimana yang sesuai akan bertahan,sedangkan yang
tidak akan tersisih. Adakalanya dua budaya bercampur sedemikian rupa, maka ada
salah satu yang mendominasi. Budaya yang menonjol disebut dominant,
sedang yang tidak disebut receiptan. Proses percampuran budaya islam-indonesia
berlangsung secara evolusi, sama halnya proses perkembangan kebudayaan itu
sendiri. Baik budaya islam yang dibawa oleh penyebar agama islam ataupun
kebudayaan indonesia, merupakan budaya yang beraneka ragam.[10]
Bentuk Akulturasi Islam di Indonesia, penduduk
indonesia banyak berkenalan dengan budaya-budaya luar, antara lain China,
India, Arab, dan Barat. Kebanyakan mereka memberikan pengaruh dari aspek lahir
saja, sedangkan pengaruh dari aspek rohani banyak diberikan oleh budaya islam.
Moral yang sudah berakulturasi dengan budaya islam terlihat di
lembaga-lembagayang menggunakan kata serapan dari bahasa Arab, seperti Majlis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan
sebagainya.
Akulturasi antara ajaran islam dengan budaya setempat,
merupakan akulturasi ajaran agama itu sendiri yang berproses dalam bahasa,
seni, baik seni ukir maupun seni pahat, dan kreativitas, dalam bentuk
kerajinan, arsitek, monumen, kaligrafi, dan mozaik yang terpahat pada interior
bangunan rumah atau masjid-masjid. Ada yang menarik dalam terjadinya
percampuran budaya ialah bahwa akidah islamiah dan ibadah (ritual) yang diatur
secara pasti didalam al-qur’an ataupun hadist, tidak mengenal terjadinya
percampuran budaya, karena keduanya harusdiikuti secara sima’i, sesuai dengan
apa yang dilihat dan didengar dari Nabi Muhammad SAW serta yang ditetapkan
melalui keputusan-keputusannya.
Dalam bentuk bahasa akulturasi terjadi secara
adopsi dengan penyesuaian pengucapan, seperti pada huruf-huruf tertentu yang
bagi orang Jawa sangat sulit untuk melafalkannya. Pengucapan seperti itu dapat
terjadi karena saat menyampaikan, para sunan tidak bersikap kaku atau terlalu
memberatkan, dengan tujuanagar para penduduk bergembira menerima ajaran islam,
bukan menjauh. Hal ini sesuai dengan ajaran Nabi: “Jadikanlah mereka itu
ringan, dan jangan jadikan mereka itu sukar dan jadikan mereka bergembira dan
jangan jadikan mereka itu lari”.
Dalam bidang arsitektur, akulturasi budaya
menghasilkan bentuk bangunan menara yang dibuat seperti pencakar langit dengan
arsitektur yang indah. Selai digunakan sebagai tempat orang memanggil kaum
muslim untuk shalat/adzan, bangunan itu berfungsi untuk mengawasi hilal, yang
menarik yaitu timbulnya seni kaligrafi yang menghiasi dinding-dinding masjid dengan
berbagai macam gaya. Di Indonesia juga lahir bentuk tulisan yang mirip dengan
pola-polatulisan Jawa yang kadang-kadang dijadikan hiasan masjid-masjid.
Bentuk-bentuk serupa ini merupakan akulturasi dari kaligrafi Arab dengan
kaligrafi Jawa.
Dari pengamatan terhadap ketercampuran budaya di
indonesia, maka ketercampuran budaya tersebut meliputi aspek-aspek kehidupan
manusia mulai dari bentuk rumah, aneka ragam masakan, pakaian, tari-tarian,
ritual-ritual, dan sebagainya. Motto atau semboyan nasional yang berbunyi
“Bhinneka Tunggal Ika” adalah sangat tepat, karena ada sikap hidup dalam
masyarakat yang damai, satu sama lain saling menghormati dan menghargai. Dengan
demikian ketercampuran budaya antara masyarakt yang satu dengan masyarakat yang
lainterjadi keterbukaan untuk menerima kultur atau budaya masyarakat lain
sehinnga juga keterbukaan untuk menerima budaya dari dunia luar.[11]
Sebab-sebab terjadinya akulturasi budaya islam di
Indonesia, sebelumnya perlu diketahui budaya bangsa indonesianterdiri dari aneka
ragam budaya. Letak geografis indonesia merupakan penyebab utama ketercampuran
budaya bangsa indonesia. Kepulauan Nusantara memberikan peluang yang sangat
besar bagi masuknya aneka ragam budaya, mengingat kepulauan tersebut yerpisah
oleh selat-selat yang mudah dilalui lintas perdagangan. Dalam agama islam
terdapat ajaran-ajaran yang sejak semula merupakan suatu ajaran yang
tetap,tidak berubah-ubah, seperti dalam aspek akidah, ritual, dan sebagainya.
Pada aspek kemasyarakatan ajaran islam dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan pikiran manusia dan menyesuaikan dengan perkembangan pikiran
manusia dan menyesuaikan dengan perkembangan budaya yang lain.[12]
Sikap umat islam dalam akulturasi budaya islam di
indonesia, secara umum sikap umat islam terhadap berbagai persoalan yang
dihadapinya terbagi menjadi dua, yaitu alot dan elastis. Sikap alot ditunjukkan
oleh gerakan dan pemahaman keagamaan seperti salafiyah, wahabiyah,seperti Sayed
Qutub (yang dihukum gantung) dan Muamar Kaddafi yang tidak mau menerima segala
bentuk pemikiran barat. Mereka hanya mau berpegang pada prinsip-prinsip agama
islam semata dan mengesampingkan pikiran-pikiran barat. Sikap elastis ada pada
aliran-aliran dan gerakan mulai dari yang ekstrim,yang hanya berpegang teguh
pada prinsip-prinsip ajaran agama dibidang akidah dan ibadah saja, sedangkan
urusan laindapat menerima pemikiran dari siapa pun dan dari mana pun datangnya,
asalkan memberi kemaslahatan dan sesuai dengan tujuan agama islam.
Di Indonesia, sikap elastis tampak mewarnai pemikiran
kaum muslim yang menganut rasionalisasu. Dari sikap mereka terhadap terjadinya
akulturasi, umat islam di indonesia pada umumnya dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu:
1. Golongan modern, yang menghendaki agar
pelaksanaan keagamaan yang bersifat akidah dan ibadah diamalkan sesuai dengan
ajaran aslinya.
2. Golongan tradisional, yang menghendaki
bahwa segala amalan yang menjunjung syiar Allah, baik dalam bidang ibadah
ataupun akidah boleh dilaksanakn asal tidak ada larangan dalam agama.
Perbedaan serupa itu menyebabkan tidak mungkinnya
bidang ibadah dan akidah tercampur dengan hasil budaya disatu pihak, tetapi
dipihak lain memungkinkan terbentuknya akulturasi. Mereka yang gigih mendukung
penguasa , dalam mengadakan dzikir dan ritual lain, membentuk amalan-amalan
yang penuh dengan bacaan-bacaan yang berasal dari agama, hanya saja caranya
belumpernah dituntun oleh Rosul atau diamalkan oleh para sahabat.[13]
Bentuk budaya sebagai hasil dari
proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material
tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia. Wujud akulturasi dapat
dilihat dalam uraian berikut ini:
a)
Seni bangunan: seni bangunan dapat terlihat pada bangunan
masjid, makam dan istana.
b) Seni rupa: tradisi islam tidak menggambarkan bentuk
manusia atau hewan, seni ukir, relief yang menghias masjid, makam islam, namun
terjadi pula sinkretisme atau (hasil perpaduan seni logam). Ukiran ataupun
hiasan selain ditemukan dimasjid juga ditemukan pada gapura-gapura atau pada
pintu dan tiang.
c)
Aksara dan seni sastra: masyarakat mulai mengenal
aksara arab bahkan berkembang tulisan arab melayu atau biasanya dikenl dengan
istilah arab gundul. Disamping itu juga huruf arab gerkembang menjadi seni kaligrafi
yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupuan ukiran.[14]
Kesimpulan:
Akulturasi
merupakan perpaduan dua budaya dimana kedua unsure kebudayaan bertemu dapat
hidup berdampingan dan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsure-unsur
asli dari kedua kebudayaan tersebut. Unsur budaya islam tersebar di Jawa
seiring dengan masuknya islam di Indonesia.
Daftar
rujukan
Abdul karim.
2007. Islam Nusantara. Jogjakarta: Pustaka Publisher.
Galih Ariyanto. 2010.
Akulturasi budaya Hindu-Budha-Islam. http://www.galihredevils.blogspot.com
(29 maret 2011 pukul 17.45 WIB)
Sri Suhandjati.
2004. Ijtihad progresif yasadipura II. Yoyakarta: Gramedia.
Sudartoyo Putra Muria. 2008. Perkembangan dan
Akulturasi Islam di Indonesia. http://www.indonesianto07.wordpress.com
(29 maret2011 pukul 17.30 WIB).
Zainudin fananie. 1989. Tradisi dan Islam dalam Akulturasi
Modern. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
[1] http://www.galihredevils.blogspot.com(2010)
akulturasi budaya hindu-budha-islam.Diakses tanggal 29 maret 2011
[2] Abdul karim
dalam islam nusantara (2007,hal 122)
[3] Sri
Suhandjati dalam ijtihad progresif Yasadipurall (2004, hal 327)
[4]
Zainuddin Fananie dalam tradisi dan islam dalam akulturasi modernisasi
(1989, hal 4)
[5]Abdul
karim dalam islam nusantara (2007,hal 147-148)
[6] Abdul
karim dalam islam nusantara (2007,hal 149-150)
[7] Abdul
karim dalam islam nusantara (2007,hal 150)
[8] Abdul
karim dalam islam nusantara (2007,hal 151)
[9] Abdul
karim dalam islam nusantara (2007,hal 151-152)
[11] Abdul
karim dalam islam nusantara (2007,hal 154-163)
[12] Abdul
karim dalam islam nusantara (2007,hal 163-165)
[13] Abdul
karim dalam islam nusantara (2007,hal 165-168)
[14] http://www.indonesianto07.wordpress.com(2008)
perkembangan dan akulturasi islam di Indonesia Diakses pada tanggal 29 maret 2011
Komentar
Posting Komentar