PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM (PTAI)
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan
Tinggi Islam mempunyai tugas pokok untuk menyelenggarakan pendidikan,
pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di bidang ilmu
pengetahuan agama Islam sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pendidikan tinggi Islam berupaya menjadi pusat kajian dan pengembangan ilmu
agama Islam yang diarahkan kepada terciptanya tujuan pendidikan, berupaya
menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan profesional, yang mampu mengembangkan, menyebarluaskan dan
menerapkan ilmu pengetahuan agama Islam. Penyelenggaraan tugas pokok tersebut merupakan persyaratan bagi
perguruan tinggi dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, termasuk
perguruan tinggi Islam.
Berkaitan dengan tugas pokok perguruan
tinggi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, perguruan tinggi Islam
memberikan penekanan pada aspek moral agama Islam yang melandasi semua bidang
ilmu pengetahuan yang dikembangkannya. Hal ini merupakan visi dan misi
perguruan tinggi Islam dalam mencetak generasi bangsa yang bermoral islami.
Dalam perkembangannya, pendidikan Tinggi Islam belum mampu menjawab tantangan
zaman yang semakin mengglobal, terutama dalam bidang teknologi dan informasi.
Persaingan di bidang tersebut agaknya pendidikan Islam di Indonesia masih di
bawah perguruan tinggi lain, untuk itu dibutuhkan upaya, inovasi-inovasi dan
pemikiran kreatif agar dapat menjawab tantangan masa depan yang sudah jelas di
depan mata.
Hadirnya
PP Nomor 61 tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi (PT) berbadan hukum atau yang
sering disebut dengan otonomi Perguruan Tinggi (PT) seiring dengan pemberlakuan
Otonomi Daerah, merupakan babak baru bagi perjalanan perguruan tinggi di
Indonesia. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan opsi bagi Perguruan Tinggi
untuk otonomi bagi kehidupan institusinya. Dengan demikian, diharapkan ada
upaya untuk saling berbenah diri bagi masing-masing perguruan tinggi, agar
dapat menanggapi dan merespon secara positif Otonomi Perguruan Tinggi tersebut.
Sehingga perguruan tinggi mempunyai citra yang dapat dijadikan andalan sebagai
ciri khas yang membedakan setiap perguruan tinggi termasuk Perguruan Tinggi
Agama Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdiri Dan Perkembangan Perguruan Tinggi
Islam
di Indonesia
Pemerintah
Indonesia memberikan perhatian yang besar kepada dunia pendidikan, terutama
setelah Indonesia merdeka. Hal ini dibuktikan dengan upaya peningkatan kualitas
dan kuantitas lembaga pendidikan sampai ke pelosok negeri. Pendidikan Islam
juga tidak terlepas dari perhatian pemerintah tersebut yaitu dengan mendirikan
dan memberikan bantuan kepada madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren,
sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat melaksanakan pendidikan dan pengajaran
kepada peserta didik dengan baik. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik yang
besar dan terampil, sesuai dengan semangat mamajukan pendidikan di Indonesia,
maka di dirikanlah perguruan-perguruan tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan guru
agama Islam, pada tahun 1950 Departemen Agama telah mendirikan Sekolah Guru
Agama Islam (SGAI).
Lulusan sekolah ini dipersiapkan sebagai
guru agama di sekolah dasar baik sekolah umum maupun sekolah dasar Islam. Sedangkan
untuk memenuhi guru-guru agama Islam di sekolah menengah Departemen Agama
mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA). Tamatan sekolah ini juga untuk
memenuhi tenaga pengajar di sekolah dan sebagai hakim di pengadilan agama. Umat
Islam telah memberikan perhatian yang besar kepada pendidikan tinggi yang
berbasiskan Islam dengan tujuan untuk memperdalam dan memahami ajaran Islam.
Sebelum
Indonesia merdeka, keinginan untuk mempunyai perguruan tinggi telah diwujudkan
dengan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Minangkabau yang didirikan oleh
Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang. Sekolah Tinggi Islam
ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia yang didirikan pada
tahun 1940. Namun Sekolah Tinggi Islam ini hanya berjalan dua tahun, kedatangan
Jepang di Padang telah memaksa Sekolah ini tutup, sedangkan Jepang hanya
mengizinkan pendidikan Islam di tingkat Madrasah atau sekolah dasar dan
menengah. Sedangkan di Jawa, umat Islam juga menginginkan adanya perguruan
tinggi Islam. Gagasan mendirikan Sekolah Tinggi Islam telah muncul pada tahun
1938 oleh Dr. Satiman melalui majalah PM No. 15. Kemudian ide tersebut diusung
oleh majalah AID No. 128 tertanggal 12 Mei 1938 dengan menyiarkan bahwa telah
diadakan musyawarah antara tiga badan pendiri Sekolah Tinggi di Jakarta, Solo
dan Surabaya.
Akibat
penjajahan Jepang gagasan ini juga tidak dapat direalisasikan. Baru pada tahun
1945 STI dapat didirikan atas inisiatif beberapa pemimpin Islam yang tergabung
dalam satu yayasan yang diketuai oleh Muhammad Hatta dan sekretarisnya Muhammad
Natsir. Sedangkan STI tersebut diketuai oleh K.H. Kahar Muzakkir. Ketika
terjadi perang kemerdekaan STI dipindahkan ke Yogyakarta tepatnya pada tanggal
22 Maret 1945. Namun tiga tahun berikutnya tepatnya pada tanggal 22 Maret 1948
STI di Yogyakarta ini berubah bentuk menjadi Universitas Islam Indonesia (UII)
dengan empat fakultas yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi,
dan Fakultas Paedagogik (Pendidikan).
Melalui
peraturan pemerintah No. 34 tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950, Fakultas
Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang bertujuan
memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat kegiatan dalam mengembangkan
serta memperdalam ilmu pengetahuan Agama Islam, dan berstatus negeri yang
dibawah naungan Departemen Agama.
Seiring
dengan hal tersebut Fakultas Umum UII yaitu Fakultas Hukum, fakultas Ekonomi
dan Fakultas Pendidikan berubah bentuk menjadi Universitas Gajah Mada (UGM)
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1950. dengan berstatus
negeri yang dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Perkembangan
selanjutnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga ahli pendidikan agama dan
urusan agama dilingkungan Departemen Agama, didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama
(ADIA) di Jakarta sebagaimana dituangkan dalam penetapan Menteri Agama No. 1
Tahun 1957.
Dengan
demikian ADIA disamping menciptakan tenaga-tenaga guru agama juga menciptakan
tenaga-tenaga terampil dalam bidang hukum yaitu hakim-hakim agama dan
menciptakan tenaga profesional lain yang dibutuhkan dilingkungan Departemen
Agama. Pada tanggal 9 Mei 1960 Departemen Agama Menggabungkan PTAIN dan ADIA,
kemudian menerbitkan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 1960 yang melebur PTAIN
Yogyakarta dan ADIA Jakarta menjadi “AL-JAMI’AH ISLAMIYAH AL-HUKUMIYAH” atau
“INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)” yang berkedudukan di Yogyakarta, yang kemudian diberi nama IAIN
Sunan Kalijaga. Akhirnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) diresmikan pada
tanggal 24 Agustus 1960.
Menteri Agama
mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Panitia Persiapan Pendirian
Fakultas Agama Islam Negeri. Setelah surat keputusan Menteri Agama yang
tertanggal September 1959 No. 48 tersiar tembusannya ke berbagai departemen dan
instansi, Menteri P dan K melakukan protes ke Menteri Agama yang pada saat itu
dijabat oleh K. Wahib Wahab dengan alasan bahwa menurut konsensus yang telah
disepakati, bahwa hanya Departemen P dan K saja yang boleh mengelola
Universitas dengan fakultas-fakultasnya. Sedangkan Departemen Agama hanya
mengelola Akademi Dinas. Selanjutnya diadakannya beberapa perundingan yang
khusus membahas perdebatan tersebut antara Prof. DR. Priyono sebagai Menteri P
dan K dengan K. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama. Akhirnya perundingan
tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Departemen Agama boleh mendirikan
Perguruan Tinggi Agama Islam asalkan tidak dinamai Universitas, maka
didirikanlah IAIN dengan melebur PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta,
menjadi IAIN yang berkedudukan di Yogyakarta dan Jakarta sebagai cabangnya.
Berhubungan
dengan itu, Fakultas Agama Islam Negeri yang ditetapkan dengan SK Menteri Agama
No. 48 September 1959, dirubah menjadi Fakultas Syariah di Banda Aceh (cabang
dari IAIN Yogyakarta) berdasarkan SK Menteri Agama tertanggal 2 Agustus 1960
No. 40 tahun 1960. Setelah berjalan selama dua tahun, IAIN mengalami
perkembangan yang cepat. Di daerah-daerah dibuka fakultas-fakultas sebagai
cabang dari IAIN induk. Banyak IAIN di daerah-daerah sedang jarak dan luasnya
wilayah antar daerah menimbulkan kesulitan dalam pengaturannya. Akhirnya, pada
tahun 1963, Departemen Agama menganggap perlu untuk memisahkan IAIN menjadi dua
institut berbeda yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu IAIN Yogyakarta
dengan Rektor Prof. R.H. Sunaryo dan IAIN Jakarta dengan Rektor Prof. H.
Soenardjo. Pemisahan ini diatur melalui keputusan Menteri Agama No. 49 tahun
1963 tertanggal 25 Pebruari. Untuk mempermudah pengawasan dan
pengorganisasiannya, dikeluarkan pembagian wilayah sebagai berikut : a. IAIN
Yogyakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang berada di wilayah Jawa Tengah,
Jawa Timur, Madura, Banjarmasin, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan daerah Indonesia
Timur. b. IAIN Jakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang terdapat di
Jakarta, Jawa Barat, kalimantan Barat dan Sumatera. Menyusul Keputusan Menteri
Agama diatas keluarlah peraturan Presiden No. 27 tahun 1963 tanggal 5 Desember
1963 yang antara lain dinyatakan bahwa diluar Yogyakarta dan Jakarta dapat
diadakan fakultas atau cabang fakultas yang diatur oleh Menteri Agama, dengan
memberi hak kepada fakultas-fakultas tersebut untuk menyelenggarakan pengajaran
dan ujian-ujian.
Disamping
itu juga dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas dengan
Keputusan Menteri Agama dapat digabung menjadi satu IAIN. Sehingga sampai tahun
1972 jumlah IAIN berkembang menjadi 14 buah dan 104 fakultas di seluruh
Indonesia, yaitu : 1. IAIN Sunan Kalijogo di Yogyakarta 2. IAIN Syarif
Hidayatullah di Jakarta 3. IAIN Jami’ah Ar-Raniri di Aceh 4. IAIN Raden Fatah
di Palembang 5. IAIN Antasari di Banjarmasin 6. IAIN Alaudin di Ujung Pandang
7. IAIN Sunan Ampel di Surabaya 8. IAIN Imam Bonjol di Padang 9. IAIN Sultan
Thoha Saifuddin di Jambi 10. IAIN Sunan Gunung Jati di Bandung 11. IAIN Raden
Intan di Tanjung Karang 12. IAIN Wali Songo di Semarang 13. IAIN Syarif Qosim
di Pekan Baru 14. IAIN Sumatera Utara di Medan. Sesuai dengan Keputusan
Presiden RI. No. 11 tahun 1997, tertanggal 21 Maret 1997, tentang pendirian
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yaitu dengan alasan peningkatan
efisiensi, efektifitas dan kualitas pendidikan di IAIN, dilakukan penataan
terhadap fakultas-fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi di luar induk.
Maka, sejak tanggal 1 Juli 1997 diresmikan berdirinya STAIN (Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri) sejumlah 33 buah di seluruh Indonesia. STAIN ini adalah
berasal dari fakultas-fakultas IAIN yang ada didaerah-daerah yang terpisah
lokasinya dari IAIN induknya. STAIN ini berdiri untuk menyahuti peraturan
juridist yang berkenaan dengan pendidikan tinggi serta untuk lebih menyahuti
perkembangan zaman.
STAIN
yang berdiri tersebut antara lain: 1. STAIN Ponorogo 2. STAIN Jember 3. STAIN
Kediri 4. STAIN Malang 5. STAIN Pamekasan 6. STAIN Mataram 7. STAIN Tulungagung
8. STAIN Salatiga 9. STAIN Gorontalo 10. STAIN Palopo 11. STAIN Serang Jawa
Barat 12. STAIN Ternate 13. STAIN Bengkulu 14. STAIN Surakarta 15. STAIN Batu
Sangkar Sumatera Barat 16. STAIN Kerinci 17. STAIN Bukittinggi 18. STAIN
Pekalongan 19. STAIN Pontianak 20. STAIN Pare-Pare 21. STAIN Curup 22. STAIN
Manado 23. STAIN Watampone 24. STAIN Kudus 25. STAIN Palangkaraya 26. STAIN
Cirebon 27. STAIN Kendari 28. STAIN Samarinda 29. STAIN Pontianak 30. STAIN
Jurai Siwo 31. STAIN Ambon 32. STAIN 33. STAIN Selanjutnya, STAIN Malang
berubah nama menjadi Universitas Islam Inodonesia Sudan (UIIS), kemudian
berubah lagi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sampai sekarang.
Sedangkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi Universitan Islam
Negeri (UIN) Jakarta.
Meskipun
pertumbuhan Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) yaitu IAIN, UIN dan STAIN
berkembang semakin pesat, perguruan tinggi swasta pun tumbuh subur di
Indonesia. Umat Islam optimis mendirikan Perguruan tinggi Islam swasta dan
tidak menjadikan perkembangan perguruan tinggi Islam negeri di daerah-daerah
yang berkembang pesat sebagai hambatan. Berdirinya perguruan tinggi Islam
swasta dimaksudkan untuk membendung faham komunisme, atheisme yang berkembang
sekitar tahun 60-an, demi kepentingan syari’ah dan dakwah, serta untuk
menampung mereka yang tidak lolos seleksi di perguruan tinggi Islam negeri.
Fakultas-fakultas agama yang ada pada mulanya hanya berstatus “terdaftar” dari
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama, kemudian meningkat menjadi
berstatus “Diakui” sehingga sekitar pada tahun 1972 terdapat sekitar 110
fakultas agama yang berinduk pada 81 perguruan tinggi Islam negeri. Disamping
itu terdapat pula perguruan Tinggi Islam, seperti UII Universitas Islam
Indonesia), UM (Universitas Muhammadiyah), dan UNISBA (Universitas Islam
Bandung), dan UNISMA (Universitas Islam Malang), serta USU (Universitas Islam
Sumatera Utara).
Universitas
tersebut di atas memiliki fakultas agama yang berada dalam naungan dan tanggung
jawab Direktorat Perguruan Tinggi Agama (PTA), kemudian dilimpahkan kepada IAIN
setelah terbentuk KOPERTAIS (Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta)
yang diketuai oleh Rektor IAIN di wilayah masing-masing. Sedangkan fakultas
selain fakultas agama berada dibawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan yang sekarang adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).
Kenyataan bahwa dalam perguruan tinggi Islam membutuhkan tenaga pendidik yang
profesional dan mumpuni dibidangnya, maka dibutuhkan tenaga pendidik tersebut
demi tercapainya pendidikan yang berdaya dan relevan. Tenaga pendidik tersebut
dibutuhkan perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta baik kualitas maupun
kuantitasnya.
Pembinaan
tenaga edukatif yang profesional dan memenuhi syarat kualitatif dilakukan
dengan mendorong dan membiayai mereka untuk mengikuti program pendidikan pasca
sarjana baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berkaitan dengan upaya
membentuk tenaga pendidik di perguruan tinggi Islam yang berkualitas. Maka
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, H.A. Timur
Djaelani, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor KEP/E/422/1981 tertanggal 13
Agustus 1981 dan menunjuk IAIN Jakarta untuk melaksanakan dan membuka program
pasca sarjana. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1982, Menteri Agama menerbitkan
Surat Keputusan Nomor 78 tahun 1982, tentang pembukaan Fakultas Pasca Sarjana
pada IAIN Syarif Hidayatullah (yang sekarang berubah menjadi UIN) dengan
mengangkat Prof. Dr. Harun Nasution sebagai Dekan. Tujuan umum didirikannya
pasca sarjana IAIN adalah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam bidang ilmu
agama Islam yang merupakan inti dari tenaga penggerak dan praktisi pendidikan
Islam, penelitian, dan pengembangan ilmu serta pengabdian kepada masyarakat.
Sedangkan tujuan Khusus didirikan program pasca sarjana adalah untuk menguasai
bidang ilmu agama Islam termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam rangka
pengembangan ilmu agama Islam serta mengamalkannya pada masyarakat, dan untuk
memiliki sikap yang ilmiah dan amal ilmiah sebagai tenaga ahli yang bertanggung
jawab di bidang ilmu agama Islam.
Tujuan
Institusional Pendidikan Tinggi Agama Islam adalah Pertama membentuk sarjana
Muslim yang berakhlak mulia, berilmu cakap serta mempuyai kesadaran bertanggung
jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila. Kedua Mencetak sarjana-sarjana Muslim atau
pejabat-pejabat agama Islam yang ahli untuk kepentingan Departemen Agama maupun
instansi lain yang memerlukan keahliannya di dalam bidang agama Islam serta
untuk memenuhi keperluan umum. Sampai sekarang ini masih terdapat
keluhan-keluhan baik dari IAIN maupun dari kalangan masyarakat umumnya
berkaitan dengan proses pendidikan dan output IAIN dan perguruan tinggi Islam
lainnya. Dari satu segi, keluhan atau tepatnya kritik itu merupakan hal yang
wajar, dan bahkan diperlukan untuk mendorong proses inovasi dan penyempurnaan
eksistensi IAIN secara terus menerus, sehingga kehadirannya lebih bermakna.
Kritik tersebut dapat dikemukakan antara lain: Kelemahan dalam kemampuan
berbahasa, kelemahan sistem dan metode, kelemahaan sikap mental ilmiah, dan
kekurangan piranti keras.
Oleh
karena itu perlu adanya perbaikan-perbaikan dan solusi dengan Memperbaruhi dan
mengembangkan Wawasan keilmuan dasar Islami, Memperbaruhi struktur
institusional dan Memperbaruhi sistem kepemimpinan serta usaha-usaha lain yang
dimaksudkan untuk memperbaiki dan membangun IAIN dan Perguruan Tinggi Islam
lainnya, agar selalu dapat menjawab tantangan zaman, sehingga tidak
ditinggalkan oleh masyarakat, tetapi kehadirannya justru dirindukannya. Dalam
perjalanan panjang selama ini IAIN dan Perguruan Tinggi Islam Swasta lainnya di
Indonesia ini telah banyak menghasilkan lulusan dan sarjananya. Dengan demikian
kiprah para alumninya telah tersebar luas di masyarakat, mereka berada di semua
lini kehidupan masyarakat yang tentunya adalah untuk membangun agama, bangsa
dan negara demi tercapainya kehidupan yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar