PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
PENDIDIKAN
ISLAM PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah dapat memberikan landasan atau titik
tolak terjadinya berbagai peristiwa. Setiap peristiwa tidak berdiri sendiri,
melainkan selalu berhubungan dan saling berpengaruh antar peristiwa di dalam
sistem gerak dan perubahan. Oleh karena itu, sejarah memberikan landasan bagi
kaum pelajar dan praktis kehidupan mengamati dan mengubah dunia, baik pada masa
sekarang, maupun untuk masa-masa yang akan datang. Dengan mengetahui arti dan
kaedah-kaedah peristiwa yang telah terjadi pada masa yang silam, maka manusia
diharapkan akan mampu menempatkan diri serta menata lingkungannya dalam usaha
menciptakan kehidupan yang lebih baik, baik pada masa sekarang maupun pada masa
yang akan datang.
Dengan adanya beberapa kenyataan diatas, maka
dengan mempelajari sejarah pendidikan, khususnya pendidikan Islam pada masa
orde lama dan baru, maka para pendidik serta Pembina pendidikan diharapkan akan
memperoleh bahan-bahan pemikiran dan tindakan kearah usaha-usaha memajukan
pendidikan. Dengan pandangan kepentingan dan
sejarah turut mewarnai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia maka sangat penting dalam menngenalkan, mengajarkan, mendidik dan
memberikan pengertian secara kaffah tentang ajaran agama Islam kepada generasi
bangsa pada khususnya mereka yang memeluk agama Islam.
Dalam
lembaga pendidikan yang memegang peranan penting pada penyebaran agama Islam
sangat banyak, seperti langgar, pesantren, keluarga, sekolah dan termasuk
individu itu sendiri yang menentukan arah mana pendidikan yang ia pelajari. Sejarah
mengatakan pendidikan Islam yang muncul pada tahun 610 Masehi yang diwahyukan
Allah swt kepada Nabi Muhammad saw, ketika beliau berumur 40 tahun yang
kemudian berkembang dengan pesat sampai sekarang ini, merupakan petunjuk bagi
orang yang menghayatinya kemudian sebagai peringatan bagi orang yang lalai.[1]
Sesuai
dengan tujuan agama Islam yakni memberikan rahmat bagi seluruh makhluk di ala
mini, maka pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya pada empat pengembangan
fungsi manusia, diantaranya menyadarkan manusia sebagai makhluk individu,
sosial dan sebagai hamba Allah swt.[2]
Oleh
karena itulah pendidikan agama wajib disampaikan dalam pendidikan formal dan
bagi para anak bangsa yang beragama Islam wajib mendapatkan materi Pendidikan
Agama Islam. Ini dimaksudkan agar dapat menanamkan pendidikan karakter sejak
awal. Sehingga pasca siswa atau mahasiswa meneyelesaikan studinya mampu
mengaplikasikan kehidupan beragama secara mandiri dalam pergaulan sehari-hari
yang berdampingan dengan warga negara sesama agama dan antar agama dengan
harmonis dengan asas saling menghormati. Maka dari situlah penulis didalam makalah
ini berkeinginan mengkaji, menulis dan memaparkan beberapa yang berkaitan
dengan pendidikan agama Islam sehingga mengambil judul makalah PENDIDIKAN ISLAM
PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pada Masa Orde
Lama
1.
Kebijaksanaan
Pendidikan Secara Umum
Kemerdekaan
Indonesia yang diproklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh putra bangsa,
Soekarno – Hatta memberikan dampak yang sangat besar bagi pembangunan nasional
Indonesia. Kesempatan itu dipergunakan oleh para tokoh nasional untuk membangun
bangsa Indonesia disegala bidang. Kesungguhan untuk mengisi kemerdekaan itu
terlihat ketika dibentuknya kementrian-kementrian yang sekarang dinamakan
Departemen oleh pemerintah. Diantaranya ada Departemen Agama yang dulu disebut
Kementrian Agama, yang didirikan pada tanggal 3 Januari 1046.
Setelah
Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatian serius
dari pemerintah, baik di sekolah Negeri maupun Swasta. Usaha untuk itu dimulai
dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan
oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP).[3]
Dengan ikut
serta mengembangkan dan memberikan pendidikan agama untuk seluruh bangsa
Indonesia. Diantaranya ada juga Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
mengubah sistem pendidikan dan menyesuaikan dengan keadaan yang baru. Dengan
segera mentri PP dan K pertama Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara,
mengeluarkan instruksi umum yang memerintahkan kepada semua kepala sekolah dan
guru untuk :
a. Mengibarkan
Sang Merah Putih setiap hari di halaman sekolah
b. Menyanyikan
lagu kebangsaan Indonesia Raya
c. Menurunkan
bendera Jepang dan menghentikan nyanyian lagu kebangsaan Jepang (Kemigayo)
d. Mengahapus
bahasa dan upacara yang berasal dari Jepang
Perubahan yang
terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar,
yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar
dan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka. Oleh karena itu, perjalanan
sejarah Pendidikan Islam di Indonesia semenjak Indonesia merdeka samapai tahun
1965 yang lebih dikenal dengan masa Orde Lama (Orla), akan berbeda dengan tahun
1965 sampai sekarang yang lebih dikenal dengan Orde Baru sampai sekarang.[5]
Dalam jangka waktu beberapa tahun di
awal berdirinya kementrian agama, telah dikeluarkan berbagai peraturan yang menentukan tugas serta ruang lingkup
kementrian agama. Meskipun ruang lingkupnya tetap sama, rumusannya sudah
beberapa kali berubah. Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada
tahun 1967 adalah sebagai berikut:
1.
Mengurus
serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah, serta membimbing
perguruan-perguruan agama.
2.
Mengikuti
dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
3.
Memberi
penerangan dan penyuluhan agama.
4.
Mengurus
dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan hokum agama.
5.
Mengurus
dan memperkembangkan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur,
serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi.
6.
Mengatur,
mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.[6]
Sebagaimana telah disebutkan diatas,
salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah
menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa bentuk sejak zaman penjajahan
Belanda. Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah
pesantren yang tersebar diberbagai pelosok.
Dengan berkembangnya pemikiran
pembaharuan dalam Islam di awal abad ke-20, persoalan administrasi dan
organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian dari beberapa kalangan atau
organisasi. Pada umumnya,madrasah dibagi menjadi dua jenjang, yaitu tingkat
dasar yang dinamakan dengan madrasah Ibtidaiyah selama 5-7 tahun dan tingkat
lanjutan yang dinamakan madrasah tsanawiyah selama 3-5 tahun.
Haji Mahmud Yunus, yang dizaman
Belanda memimpin sekolah Normal Islam di Padang, menyusun rencana pembangunan
pendidikan Islam. Ketika itu beliau menduduki sebagai seksi Islam dari Kantor
Agama Provinsi. Dalam rencananya antara lain; Ibtidaiyah selama 6 tahun,
Tsanawiyah Pertama 4 tahun, dan Tsanawiyah Atas 4 tahun. Mahmud Yunus
menyarankan agar pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah “umum” yang
disetujui oleh konferensi pendidikan di Padang. Akan tetapi semua yang
dilakukannya mengalami kemandegan karena terjadi aksi militer Belanda kedua.
Setelah selesai barulah dimulai kembali usaha untuk mengkoordinasi
sekolah-sekolah agama diseluruh Indonesia.
Banyak lembaga pendidikan agama yang
didirikan , seperti Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (4 tahun), Aliyah
(3 tahun), Sekolah Guru Agama Islam (5 tahun bagi lulusan Sekolah Dasar baik
umum maupun agama, 2 tahun bagi lulusan SMP atau Tsanawiyah), Sekolah Guru, dan
Hakim Agama Islam/ SGHA (4 tahun bagi lulusan SMP atau Tsanawiyah). Dua sekolah
yang terakhir mengalami perubahan pada tahun 1953. PGA menjadi 6 tahun,
sedangkan SGHA dihapuskan tahun 1954 dan digantikan dengan Pendidikan Hakim
Islam Negeri (PHIN) selama 4 tahun.[7]
Untuk
mengadakan penyesuaian dengan cita-cita tersebut, maka bidang pendidikan
mengalami perubahan, terutama dalam landasan idealnya, tujuan pendidikan,
sistem persekolahan dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat
Indonesia. Dengan segala kesungguhannya pemerintah orde lama memberikan
perhatian pada pendidikan Nasional bangsa. Setelah Indonesia merdeka, terutama
setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai
mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam
bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan.[8]
Tindakan
pertama yang diambil oleh pemerintah ialah menyesuaikan pendidikan dengan
tuntutan dan aspirasi rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang
berbunyi:
2)
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan
pengajaran.
3)
Pemerintah mengusahakan suatu sistem pengajaran
Nasional yang diatur dengan undang-undang.
Pasal diatas mengandung maksud:
a) Mengambil langkah-langkah pertama sebagai usaha
persiapan untuk mewujudkan kewajiban belajar, bila keadaan telah mengizinkan.
b) Mengharuskan untuk mendasarkan segala
usaha-usaha dilapangan pendidikan dan pengajaran pada dasar Nasional.[9]
Usaha
selanjutnya mengadakan kongres pendidikan di Solo 1947. Pada tahun 1948
dibentuk panitia pembentukan rencana undang-undang pokok pendidikan dan
pengajaran. Panitia ini juga diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Tahun 1949
diadakan kongres pendidikan kedua di Yogyakarta akhirnya, pada tahun 1950
lahirlah undang-undang tentang dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah yang
disingkat menjadi UUPP. Undang-undang ini seluruhnya terdiri dari 17 Bab dan 30
pasal.
Didalam UUPP
tersebut dicantumkan tujuan dan dasar-dasar pendidikan dan pengajaran yang
dicantumkan pada bab II pasal 3, yang berbunyi :
“Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah
membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”
Dasar
pendidikan dan pengajaran tercantum pada bab III pasal 4 berbunyi:
“Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas
asas-asas yang termasuk dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dan atas kebudayaan bangsa Indonesia.”[10]
2.
Keadaan Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
Pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yaitu pendidikan
yang dipahami dan dikembangkan dan ajaran dan nilai-nilai fundamental yang
terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam
pengertian ini pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan
yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber
tersebut.[11]
Ada 2 hal yang penting berkaitan
dengan pendidikan Islam pada masa orde lama, yaitu pengembangan dan pembinaan
madrasah dan pendidikan Islam di sekolah umum.
a. Perkembangan dan Pembinaan Madrasah
Perkembangan
madrasah tak lepas dari peran Departemen Agama sebagai lembaga yang secara
politis telah mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yang
terus menerus dari kalangan pengambil kebijakan. Walau tak lepas dari usaha
keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh agama seperti Ahmad Dahlan,
Hasyim Asy`ari dan Mahmud Yunus. Dengan perkembangan politis dan zaman,
Departemen Agama secara bertahap terus menerus mengembangkan program-program
peningkatan dan perluasan ases serta peningkatan mutu madrasah.
Madrasah
sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada
tahun 1950. Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah, pada pasal 10 menyatakan bahwa untuk mendapatkan
pengakuan Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai
mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur disamping
pelajaran umum.
Dengan
persyaratan tersebut, diadakan pendaftaran madrasah yang memenuhi syarat. Jenjang
pendidikan pada sistem madrasah pada masa itu terdiri dari tiga jenjang.
1) Madrasah Ibtidaiyah dengan lama
pendidikan 6 tahun
2) Madrasah Tsanawiyah Pertama
pendidikan 4 tahun
3) Madrasah Tsanawiyah Atas
pendidikan 4 Tahun.[12]
Sedangkan
kurikulum madrasah terdiri dari sepertiga pelajaran agama dan sisanya pelajaran
umum. Rumusan kurikulum seperti itu bertujuan untuk merespon pendapat umum yang
menyatakan bahwa madrasah tidak cukup hanya mengajarkan agama saja, tetapi juga
harus mengajarkan pendidikan umum, kebijakan seperti itu untuk menjawab kesan
tidak baik yang melekat kepada madrasah, yaitu pelajaran umum madrasah tidak
akan mencapai tingkat yang sama bila dibandingkan dengan sekolah umum.
Perkembangan
madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya madrasah
Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan
pendiriannya untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan
madrasah sekaligus ahli keagamaan yang profesional. PGA pada dasarnya telah ada
sejak masa sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi
pendiriannya oleh Departemen Agama menjadi jaminan strategis bagi kelanjutan
madrasah di Indonesia.
Sejarah
perkembangan PGA dan PHIN bermula dari progam Departemen Agama yang secara
tehnis ditangani oleh Bagian Pendidikan. Pada tahun 1950, bagian itu membuka
dua lembaga pendidikan dan madrasah profesional keguruan:
a. Sekolah Guru Agama Islam (SGAI),
SGAI terdiri dari dua jenjang:
1) jenjang jangka panjang yang ditempuh
selama 5 tahun dan diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan
2) Jenjang jangka pendek yang ditempuh
selama 2 tahun diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrasah Tsanawiyah.
b. Sekolah Guru Hakim Agama Islam
(SGHAI), SGHAI ditempuh selama 4 tahun diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrasah
Tsanawiyah. SGHAI memilki empat bagian:
a)
Bagian
"a" untuk mencetak guru kesusastraan
b)
Bagian
"b" untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti
c)
Bagian
"c" untuk mencetak guru agama
d) Bagian "d" untuk mencetak
guru pendidikan agama.[13]
b. Perkembangan Perguruan Tinggi Islam
Perguruan
Tinggi Islam khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat
perhatian pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII
dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951
secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN ( Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri) dibawah pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di
Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan
sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di pemerintahan (
Kementerian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN
dan ADIA disatukan menjadi IAIN.
c. Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Umum
Peraturan
resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkan dalam
Undang-Undang Pendidikan tahun 1950 No. 4 dan Undang-Undang Pendidikan tahun
1954 No. 20, (tahun 1950 hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat
di Yogyakarta).
Sebelumnya
ada ketetapan bersama Departemen PKK dan Departemen Agama yang dikeluarkan pada
20 Januari Tahun 1951. Ketetapan itu menegaskan bahwa:
1) Pendidikan agama diberikan mulai
kelas IV Sekolah Rakyat selama 2 jam per minggu. Di lingkungan istimewa,
pendidikan agama dapat di mulai dari kelas 1 dan jam pelajarannya boleh
ditambah sesuai kebutuhan, tetapi catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak
boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya
diberikan mulai kelas IV.
2) Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam
seminggu.
3) Pendidikan agama diberikan kepada
murid-murid sebanyak 10 orang dalam 1 kelas dan mendapat izin dari orang tua
dan walinya.
4) Pengangkatan guru agama, biaya
pendidikan agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
d. Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren
Pondok
Pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional, keberadaan pondok
pesantren sebelum Indonesia merdeka diperhitungkan oleh bangsa-bangsa yang
pernah menjajah Indonesia.
Pada masa
kolonialisme dari Pondok Pesantren lahirlah tokoh-tokoh nasional yang tangguh
yang menjadi pelopor pergerakan kemerdekaan Indonesia, seperti KH. Hasyim
Asyari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zaenal Mustopa dll. Maka dapat dikatakan bahwa
masa itu Pondok Pesantren memberikan kontribusi yang besar bagi terbentunya
republik ini. Bila dianalisis lebih jauh kenapa dari lembaga pendidikan yang
sangat sederhana ini muncul tokoh-tokoh nasional yang mampu menggerakan rakyat
untuk melawan penjajah, jawabannya karena figur Kiyai sebagai Pimpinan pondok
pesantren sangat dihormati dan disegani, baik oleh komunitas pesantren (santri)
maupun masyarakat sekitar pondok, mereka meyakini bahwa apa yang diucapkan
kiyai adalah wahyu Tuhan yang mengandung nilai-nilai kebenaran hakiki (
Ilahiyyah).
Pada masa
pasca kemerdekaan, Pondok Pesantren perkembangannya mengalami pasang surut
dalam mengemban misinya sebagai pencetak generasi kaum muslimin yang mumpuni
dalam bidang Agama (tafaqquh fiddien). Pada masa priode transisi antara tahun
1950 - 1965 Pondok Pesantren mengalami fase stagnasi, dimana Kyai yang
disimbolkan sebagai figur yang ditokohkan oleh seluruh elemen masyarakat Islam,
terjebak pada percaturan politik praktis, yang ditandai dengan bermunculannya
partai politik bernuasa Islami peserta PEMILU pertama tahun 1955, contohnya
dengan lahirnya Partai Politik NU yang mewaliki warga Nahdiyyin, Partai Politik
NU tersebut dapat dikatakan merepresentasikan dunia Pondok Pesantren. Hal ini
dikarenakan sebagian besar pengurus dari parpol tersebut adalah Kiyai yang
mempunyai Pondok Pesantren.
Pembinaan
pendidikan agama setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah secara formal intitusional
memberikan kepercayaan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Oleh karena itu, dikeluarkanlah peraturan bersama antara kedua
departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah- sekolah umum
baik negeri maupun swasta. Dalam undang-undang No. 12 tahun 1950 itu juga
terdapat pasal yang mengupas tentang pendidikan dan pengajaran agama di
sekolah-sekolah negeri. Pasal ini terdapat pada Bab XII pasal 20 yang berbunyai
:
1)
Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran
Agama. Orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran
tersebut.
2)
Cara menyelenggarakan pelajaran yang ditetapkan
oleh mentri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan bersama-sama dengan mentri
agama.[14]
Kemudian
beberapa tahun berikutnya ditanda tangani kembali peraturan bersama mentri PP
2k dan menteri agama nomor : 1432/kat. Tanggal 20 Januari 1951 (mentri
pendidikan), Nomor : K/I/652 tanggal 20 Januari 1951 (agama), diatur peraturan
pendidikan agama di sekolah-sekolah, yaitu :
Pasal I :
“Di tiap-tiap
sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan
kejuruan) diberi pendidikan agama”.
Pasal II:
a)
Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama
dimulai pada kelas IV banyaknya 2 jam
dalam satu minggu
b) Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama
dapat dimulai pada kelas I dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan, tetapi
tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum
bagi sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi dibandingkan
sekolah-sekolah rendah dilain lingkungan.
Pasal III:
“Di
sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingaktan atas, baik
sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah kejuruan, diberi pendidikan agama 2
jam dalam tiap minggu”.
Pasal IV:
a)
Pendidikan agama diberikan menurut agama murid
masing-masing
b) Pendidikan agama baru diberikan pada satu kelas
yang mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang yang menganut satu macam
agama.
c) Murid dalam satu kelas yang menganut agama lain
dari agama yang sedang diajarkan pada satu waktu boleh meninggalkan kelasnya
selama pelajaran berlangsung.[15]
Dalam bidang
kurikulum pendidikan agama diusahakan penyempurnaan-penyempurnaan untuk itu dibentuk suatu kepanitiaan yang
dipimpin K.H Imam Zarkasi dari Pondok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut
disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952. Pada bulan desember 1960 saat
sidang Pleno MPRS, diputuskan sebagai berikut : melaksanakan Manipol Usdek
dibidang mental/agama kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar
setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan
Indonesia, serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II pasal
2 ayat I).
Dalam ayat 3
dan pasal tersebut dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran
disekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar sampai universitas), dengan
pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid
atau murid dewasa menyatakan keberatannya.
Setelah
Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka secara instansional
Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggung jawab terhadap pembinaan
dan pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut. Lembaga
pendidikan agama Islam ada yang berstatus negeri dan ada yang berstatus swasta.
[16]
B.
Pada Masa Orde
Baru
1.
Makna Orde Baru
Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga
terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi
pada 21 Mei 1998.[17]
Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan
strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru
adalah suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan
dianggap telah menyelewengkan pancasila.
Orde Baru memberikan corak baru bagi kebijakan pendidikan agama islam,
karena beralihnya pengaruh komunisme ke arah pemurnian pancasila melalui
rencana pembangunan Nasional berkelanjutan. Terjadilah pergeseran kebijakan,
dari murid berhak tidak ikut serta dalam pelajaran agama apabila mereka
menyatakan keberatannya, menjadi semua murid wajib mengikuti pendidkan agama
mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Sejak
ditumpasnya peritiwa G. 30 S/PKI pada tanggal 1 Oktoger 1965. Bangsa Indonesia
telah memasuki fase baru yang diberi nama orde baru. orde baru adalah:
a.
Sikap mental yang positif untuk menghentikan
dan mengoreksi segala penyelewengan terhadap pancasila dan UUD 1945.
b.
Memperjuangkan adanya suatu masyarakat yang
adil dan makmur, baik material maupun spiritual melalui pembangungan.
c.
Sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat
dan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dengan demikian,
orde baru bukanlah merupakan golongan tertentu, sebab orde baru bukan berupa
pengelompokan fisik. Perubahan orde lama (sebelum 30 September 1965) menjadi
orde baru berlangsung melalui kerja sama erat antara pihak ABRI atau Tentara
dan Gerakan-Gerakan Pemuda, yang disebut Angkatan 1966.[18]
2.
Keberadaan
Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Kebijakan
pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah di
Indonesia bersifat positif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980-an sampai
dengan 1990-an. Pada masa pemerintahan Orde Baru, lembaga pendidikan madrasah
dikembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu
pendidikan.[19]
Haluan
penyelenggaraan pendidikan dikoreksi melalui Tap MPR No. XXII/MPRS/1966 tentang
Agama. Pendidikan dan kebudayaan ketetapan ini memuat tujuh pasal yang diantaranya
sebagai berikut:
a. Mengubah diktum ketetapan MPRS No II/MPRS/1960
Bab II pasal 2 ayat (3) dengan menghapus kata “……dengan pengertian bahwa
murid-murid dewasa menyatakan keberatannya……….” Sehingga kalimatnya berbunyai
sebagai berikut : “menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di
sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri”
(pasal I)
b.
Dasar pendidikan adalah falsafah Negara
pancasila (pasal 2)
c.
Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia
pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki
oleh pembukaan undang-undang dasar 1945 dan isi UUD 1945
d.
Untuk mencapai dasar dan tujuan tersebut, isi
pendidikan adalah sebagai berikut :
1) Mempertinggi
mental, moral, budi pekerti, dan memperkuat keyakinan beragama
2) Mempertinggi
kecerdasan-kecerdasan dan keterampilan
Dengan demikian
sejak tahun 1966, pendidikan agama menjadi hak wajib mulai dari sekolah dasar
sampai pemerintah dan rakyat guna membangun manusia seutuhnya dan masyarakat
Indonesia seluruhnya. Berdasarkan tekad dan semangat tersebut, kehidupan
beragama dan pendidikan agama khususnya, semakin memperoleh tempat yang kuat
dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya.
Sebagaimana perkembangan orde lama,
perkembangan pada orde baru juga dapat dibagi dalam :
a) Perkembangan dan Pembinaan Madrasah
1. Penegerian Madrasah Swasta
Pada tahun
1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta untuk semua
tingkatan, Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Islam Negeri
(MTsIN) dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Namun ketentuan itu
hanya berlangsung 3 tahun, dan dengan alasan pembiayaan dan fasilitas yang
sangat terbatas, maka keluarnya Keputusan Menteri Agama No. 213 tahun 1970
tidak ada lagi penegerian bagi madrasah madrasah swasta. Namun kebijakan
tersebut tidak berlangsung lama, memasuki tahun 2000 kebijakan penegerian
dimunculkan kembali.[21]
2. Kesejajaran Madrasah dan Sekolah
Umum
Lahirnya
Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 6 tahun 1975 dan No. 037/U/1975
antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam
Negeri, tentang Peningkatan Mutu Pendidiikan pada Madrasah. SKB ini muncul
dilatar belakangi bahwa setiap waganegara Indonesia berhak memperoleh
kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah yang ingin
melanjutkan, diperkenankan melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang setingkat
di atasnya. Dan bagi siswa madrasah yang ingin pindah sekolah dapat pindah ke
sekolah umum setingkat. Ketentuan ini berlaku mulai dari tingkat sekolah dasar
sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Lahirnya MAPK
ditandai dengan dilatarbelakangi akan kebutuhan tenaga ahli di bidang
agama Islam ("ulama") dimasa mendatang sesuai dengan tuntutan
pembangunan nasional, maka dilakukan usaha peningkatan mutu pendidikan pada
Madrasah Aliyah. Lebih lanjut dibentuklah Madrasah Aliyah Pilihan Ilmu-Ilmu
Agama (MAPK) dengan berdasarkan persyaratan-persyaratan yang ditentukan.
Kekhususan MAPK ini adalah komposisi kurikulum 65 studi
agama dan 35 pendidikan dasar umum. Sasarannya adalah penyiapan lulusan yang
mampu menguasai ilmu-ilmu agama yang nantinya menjadi dasar lulusan untuk terus
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi bidang keagamaan dan akhirnya menjadi
calon ulama yang baik. Selanjutnya MAPK berganti nama
menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Namun lebih lanjut program ini kurang
mendapat perhatian dari pemerintah sehingga nasibnya sampai hari ini belum
jelas keberadaannya.
b) Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren
Perkembangan
pendidikan Pondok Pesantren pada periode Orde Baru, seakan tenggelam
eksistensinya karena seiring dengan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak
pada kepentingan ummat Islam.
Setitik
harapan timbul untuk nasib umat Islam setelah terjadinya era reformasi, pondok
pesantren mulai berbenah diri lagi dan mendapatkan tempat lagi dikalangan
pergaulan nasional. Salah satunya adalah pendidikan Pondok Pesantren diakui
oleh pemerintah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang termaktub
dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pondok pesantren
tidak lagi dipandang sebagai lembaga pendidikan tradisional yang illegal, namun
pesantren diakui oleh pemerintah sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai
kesetaraan dalam hak dan kewajibannya dengan lembaga pendidikan formal lainnya.
c. Perguruan Tinggi Agama Islam
IAIN
sebagai salah satu bagian dari PTAI, merupakan bagian dari salah satu sistem
pendidikan Islam yang ada di Indonesia. IAIN di dirikan pada awal tahun 1960
sebagai suatu respon atas kebutuhan pemerintah akan tenaga pendidik yang ahli
di bidang ilmu-ilmu keislaman, untuk mengembangkan sistem pendidikan madrasah.
Akhirnya dalam perkembangan nya IAIN jumlahnya semakin bertambah dan
berkembang.
Perkembangannya
sejak masa orde baru bukan saja pada aspek fisiknya tetapi juga pada aspek
tenaga pendidik atau dosennya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Sejalan dengan kebutuhan masyarakat Islam akan Ilmu dan pengetahuan serta
teknologi peran perguruan tinggi agama Islam semakin bertambah, oleh karenan
itu beberapa tahun ini beberapa IAIN telah berkembang menjadi universitas
Islam. Dimana dalam pelayanannya, selain memberi pendidikan bidang studi
keagamaan juga memberikan pelayanan pendidikan umum. Saat ini Perguruan Tinggi
Agama Islam telah tersedia 15 IAIN, 6 UIN dan 31 STAIN.[22]
3. Keberhasilan-keberhasilan Pendidikan pada Masa Orde Baru
Masa Orde Baru ini mencatat
banyak keberhasilan[23],
diantaranya adalah:
a. Pemerintah memberlakukan pendidikan agama dari tingkat SD hingga
universitas (TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966), madrasah mendapat perlakuan dan
status yang sejajar dengan sekolah umum, pesantren mendapat perhatian melalui
subsidi dan pembinaan, berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun
1975, pelarangan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993
setelah berjalan sejak awal tahun 1980-an.
b. Pemerintah juga pada akhirnya member izin pada pelajar muslimah untuk
memakai rok panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah Negeri sebagai ganti
seragam sekolah yang biasanya rok pendek dan kepala terbuka.
c. Terbentuknya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.
7 tahun 1989 tentang peradilan agama, Komplikasi Hukum Islam (KHI), dukungan
pemerintah terhadap pendirian Bank Islam, Bank Muamalat Islam, yang telah lama
diusulkan, lalu diteruskan dengan pendirian BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan
Sodaqoh) yang idenya muncul sejak 1968, berdirinya Yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila, pemberlakuan label halal atau haram oleh MUI bagi produk makanan dan
minuman pada kemasannya, terutama bagi jenis olahan.
Selanjutnya pemerintah juga
memfasilitasi penyebaran da’i ke daerah terpencil dan lahan transmigrasi,
mengadakan MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an), peringatan hari besar islam di
Masjid Istiqlal, mencetak dan mengedarkan mushaf Al-qur’an dan buku-buku agama
islam yang kemudian diberikan ke masjid atau perpustakaan Islam, terpusatnya
jama’ah haji di asrama haji, berdirinya MAN PK (Program Khusus) mulai tahun
1986, dan pendidikan pascasarjana untuk Dosen IAIN baik ke dalam maupun luar
negeri, merupakan kebijakan lainnya. Khusus mengenai kebijakan ini, Departemen
Agama telah membuka program pascasarjana IAIN sejak 1983 dan join
cooperation dengan Negara-negara Barat untuk studi lanjut jenjang Magister
maupun Doktor.
Selain itu, penayangan pelajaran
Bahasa Arab di TVRI dilakukan sejak 1990, dan sebagainya. Akibat semua
kebijakan tersebut, pembangunan bidang agama islam yang dilaksanakan Orde Baru
mempercepat peningkatan jumlah umat islam terdidik dan kelas menengah muslim
perkotaan.
4. Jenis-Jenis Pendidikan Serta Pengajaran Islam
a. Pesantren klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama,
yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya
terbatas pada pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah.
b. Madrasah diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan
bagi murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun.
c. Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang
bersamaan dengan pengajaran agama juga diberikan pelajaran-pelajaran umum.
d. Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu sekolah dasar negeri enam tahun, di mana
perbandingan umum kira-kira 1:2.
e. Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri
(MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama 2 tahun, yang memberikan
latihan ketrampilan sederhana.
f. Pendidikan teologi agama tertinggi. Pada tingkat universitas diberikan
sejak tahun 1960 pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua bagian / dua fakultas
di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta.
Dalam
sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN sejak tahun 1973 hingga sekarang selalu
ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di
sekolah-sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan, bahkan pendidikan agama
sudah di kembangkan sejak Taman Kanak-kanak (Bab V pasal 9 ayat I PP nomor 27
tahun 1990 dalam UU nomor 2 tahun 1989)
Pendidikan
Islam menempati kedudukan yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam
pembangunan manusia seutuhnya. Hal ini mudah dimengerti karena bangsa Indonesia
yang beragama tidak dapat melepaskan agamanya dari setiap aktivitas pendidikan
yang dilakukannya. Secara komprehensip agama bagi bangsa Indonesia adalah “Generator”
pembangkit listrik bagi pengisian aspirasi dan inspirasi bangsa. Agama juga
merupakan alat pengembangan dan pengendalian bagi bangsa Indonesia yang sedang
giat melaksanakan pembangunan disegala sektor-sektor
5. Organisasi Keagamaan dan Peranannya dalam
Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia.
a.
Muhammadiyah
Peran Muhammadiyah
dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diantaranya Muhammadiyah mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Data tahun
1985 Muhammadiyah sudah memiliki 12400 lembaga pendidikan yang terdiri dari 37
perguruan tinggi dan sisanya adalah TJ sampai SLTA. Tahun 1990 jumlah perguruan
tinggi Muhammadiyah bertambah menjadi 78 buah. Dengan system pendidikan yang
dipilih oleh Muhammadiyah adalah pendidikan integrative menggabungkan kurikulum
sekolah pemerintah dengan kuriklum madrasah.
b.
Nahdatul Ulama’ (NU)
Peran Nahdatul
Ulama’ dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dengan mendirikan madrasah dan
sekolah NU dengan memilki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat dan
selalu bersatu dengan masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Meminjam
istilah Kyai Tolchah Hasan, “tidak banyak yang mau mewakafkan diri untuk
pendidikan”, katanya didalam kesempatan Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional
(Rakornas) Asosiasi Perguruan Tinggi NU (APTINU) di Jakarta pada pertengahan
Oktober 2009. Dari 73 perguruan tinggi NU yang berada dibawah APTINU,
diharapkan bisa meningkatkan kiprah NU di bidang pendidikan.
c.
Persis (Persatuan Islam)
d.
Al-Irsyad
e.
Jami’at Khair
f.
Ahlussunnah wal Jamaah
BAB III
KESIMPULAN
Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah
satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk tercapainya cita-cita tersebut maka pemerintah dan rakyat Indonesia
berusaha membangun dan mengembangkan pendidikan semaksimal mungkin. Meskipun
Indonesia baru memproklamasikan kemerdekaannya dan sedang menghadapi revolusi
fisik, pemerintah sudah berbenah diri, terutama memperhatikan masalah
pendidikan yang dianggap cukup vital dan menentukan, untuk itu dibentuklah
kementrian-kementrian, pengajaran dan kebudayaan, dan kementrian tersebut maka
diadakanlah berbagai usaha terutama mengubah sistem pendidikan dan
menyesuaikannya dengan keadaan yang baru.
Pendidikan Islam menempati kedudukan yang
sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan manusia seutuhnya.
Hal ini mudah dimengerti karena bangsa Indonesia yang beragama tidak dapat
melepaskan agamanya dari setiap aktivitas pendidikan yang dilakukannya. Secara
komprehensip agama bagi bangsa Indonesia adalah “Generator” pembangkit listrik
bagi pengisian aspirasi dan inspirasi bangsa. Agama juga merupakan alat
pengembangan dan pengendalian bagi bangsa Indonesia yang sedang giat
melaksanakan pembangunan disegala sektor-sektor.
Untuk mengembangkan pendidikan Islam harus
mempunyai lembaga-lembaga pendidikan, sehingga menjadi “lahan subur” tempat
persemaian generasi baru, sehingga pendidikan Islam harus mampu memberikan ilmu
pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupannya
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Daulay, Haidar Putra. (2007). Sejarah Pertumbuhan dan
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Hasbullah. (1999). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo.
Handout. (2010). Perkembangan Pendidikan Islam Masa Orde Lama
dan Baru. Surakarta: UMS
Mustafa. (1999). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. (2003). Kapita Selekta Pendidikan Islam.
Bandung: Angkasa.
Nizar, Samsul. (2011). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Sunanto, Musrifah. (2005). Sejarah Peradaban Islam di Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Universitan Pendidikan Indonesia. (2007). Landasan Pendidikan.
Bandung.
Wahab, Rochidin. (2004). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Bandung: Alfabeta.
Yatim, Badri. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Zainuddin Maliki. (2004). Agama Priyayi, Makna di tangan Elite
Penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Zuhairini. (1997). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
[1] Rochidin
Wahab, hal 259. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta.
[2] Arifin, hal
23. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[3] Hasbullah, hal
70. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo.
[4] Samsul Nizar,
hal 346. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[5] Samsul Nizar,
hal 346. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[6] Badri Yatim,
hal 308. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
[7] Badri Yatim,
hal 210-311. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[8] Badri Yatim,
hal 310. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[9] Abuddin Nata,
hal 30. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa
[10] Haidar Putra
Daulay, hal 83. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana
[11] Abuddin Nata,
hal 32. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa.
[14]
Hasbullah, hal
77. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
[15] Hasbullah, hal
78. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
[16] Zuhairini, hal
196. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[18] Mustafa, hal
137. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
[19] Samsul Nizar,
hal 360. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
[20] Universitas
Pendidikan Indonesia, hal 202. Landasan Pendidikan. Bandung.
[24] Zainuddin Maliki, hal,
6. Agama
Priyayi, Makna di tangan Elite Penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Komentar
Posting Komentar