KERUNTUHAN BANI ABBASIYAH
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Penulisan
Daulah Abbasiyah merupakan kekhalifahan
kedua Islam yang berkuasa di Baghdad. Daulah Abbasiyah mencapai masa
kejayaannya di zaman kholifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya
Al-Makmun (813-833 M).
Daulah Abbasiyah dibagi menjadi tiga
periode. Pertama, periode perkembangan dan puncak kejayaan, ditandai dengan
berkembangnya kebudayaan dan peradaban. Kedua, periode disintegrasi ditandai
dengan upaya wilayah-wilayah melepaskan diri dari daulah Abbasiyah. Ketiga,
periode kemunduran dan kehancuran.
Masa kemunduran dimulai sejak periode
kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebabkemunduran itu tidak datangsecara
tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena
khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang.[1]
Kemunduran Daulah Abbasiyah ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor external yaitu terjadinya
perang salib yang berlangsung selama tiga periode, perang salib ini merupakan
puncak dari sejumlah konflik antara negeri Barat dan negeri Timur (antara pihak
kristen dan pihak muslim), sehingga konsentrasi dan perhatian Abbasiyah
terpecah belah untuk menghadapi tentara salib. Disamping itu adanya serangan
mongol, yaitu atas perintah raja Mangu, penyerbuan Hulagu Khan untuk menghancurleburkan
kota Baghdad, sehingga dapat memperluas daerah kekuasaannya. Hancurnya Baghdad
oleh serangan Hulagu Khan menandai berakhirnya kekuasaan Bani Abbasiyah.[2]
BAB 11
PEMBAHASAN
A. Keruntuhan
Bani Abbasiyah (842-1258M).
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H(750 M) – 656 H
(1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan bani Abbas menjadi lima periode: 1). Periode pertama (132H /
750M - 232H / 847 M). 2). Periode kedua (232H / 847M – 334H / 945M). 3).
Periode ketiga (334H / 945M – 447H / 1055M). 4). Periode keempat (447H / 1055M
– 590H / 1194M). 5). Periode kelima (590H / 1194M – 656H / 1258M).[3]
Walaupun dinasti ini berkuasa selama
lima abad (750-1258 M), kemegahan dinasti ini dalam waktu yang relatif tidak
panjang dan bahkan sempat menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan
tertinggi ketika itu, akhirnya kejayaan itu menuju kemunduran, pasca kekuasaan
Khalifah Wasiq (842-847 M).[4]
Faktor-faktor yang membuat daulah
Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi
faktor-faktor intern dan faktor-faktor ekstern.
1.
Faktor Internal
a. Persaingan
Antar Bangsa
Khilafah
Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah
berdiri, Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun,
ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia dari pada
orang-orang Arab:
b.
Sulit bagi orang-orang Arab untuk
melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
c. Orang-orang
Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan
demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun
demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti
dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab
beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras)
istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam). Selain itu,
wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai
bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan
India.[5]
2. Konflik
Agama
Fanatisme
keagamaan terkait erat dengan persoalan kebangsaan. Pada periode Abbasiyah,
konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga mengakibatkan terjadi
perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus Sunnah,
dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami
kesulitan untuk memepersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.[6]
3. Kemerosotan
ekonomi
Khilafah
Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Menurut Muh. Nurhakim, sumber
penghasilan Bani Abbasiyah antara lain adalah pajak dari wilayah dan pertanian.
Sehubungan dengan ini, banyaknya wilayah yang membebaskan diri sangat
mempengaruhi jumlah wilayah pembayar pajak.[7]
Setelah
khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan
oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti,
sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah
dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat
melakukan korupsi.
Kondisi
politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti
Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Faktor
lain yang menyebabkan runtuhnya daulah Abbasiyah menurut Montgomery Watt antara
lain:
a.
Luasnya wilayah kekuasaan Daulah
Abbasiyah, sementara komunikasi pusat daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan
itu, tingkat saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan
sangat rendah.
b.
Dengan profesionalisme angkatan
bersesenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
c.
Keuangan negara sangat sulit, karena
biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan
militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.[8]
4.
Faktor Eksternal
a. Perang
Salib
Perang
salib adalah perang keagamaan selama hampir dua abad yang terjadi sebagai
reaksi umat kristen di Eropa terhadap umat islam di Asia. Perang salib
merupakan kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai
kristiani pada tahun 1095-1291, dengan tujuan untuk menguasai Yerusalam dari
kekuasaan muslim.
Sebab
sebab terjadinya perang salib:
1)
Faktor agama
a.
Sejak Dinasti Seljuk merebut Baitul
makdis dari tangan Dinasti Fatimiyah pihak kristen tidak bebas lagi
melaksanakan ibadah ke Bait al-Maqdis. Mereka yang pulang berziarah sering
mendapat perlakuan jelek dari orang-orang seljuk.
b.
Pidato Pus Urbanus II, ada kewajiban
orang kristen untuk mengunjungi kuburan-kuburan suci dan merebutnya dari
orang-orang non kristen, pengampunan dosa bagi orang yang ikut perang, jaminan
syurga bagi yang mati dalam perang.
2) Faktor
politik
Kondisi
kekuasaan islam waktu itu sedang melemah, sehingga orang-orang kristen di Eropa
ambil bagian dalam perang salib. Dinasti Seljuk sedang mengalami perpecahan,
Dinasti Fatimiyah (di Mesir) dalam keadaan lumpuh, islam di Spanyol semakin
goyah. Situasi demikian mendorong penguasa-penguasa kristen di Eropa untuk
merebut satu persatu daerah-daerah kekuasaan islam (Baitulmakdis).
3)
Faktor sosial ekonomi
a.
Stratifikasi sosial masyarakat Eropa
ketika itu terdiri atas kaum gereja, bangsawan, serta ksatria dan rakyat
jelata. Mayoritas mereka rakyat jelata, mereka terus tunduk kepada tuan tanah,
mereka dibebani pajak dan kewajiban-kewajiban lain.
b.
Kaum gereja memobilisir mereka untuk
turut serta dalam perang salib dengan janji akan diberi kebebasan dan
kesejahteraan yang lebih baik bila perang dapat dimenangkan.
c. Selain
stratifikasi sosial, masyarakat Eropa memberlakukan diskriminasi terhadap rakyat
jelata. Di Eropa ketetapan hukum warisnya bahwa hanya anak tertua yang berhak
menerima harta waris. Jika anak tertua meninggal, maka harta waris harus
diserahkan kepada gereja. Hal ini menyebabkan anak miskin meningkat, sehingga
mereka beramai-ramai ikut seruan berperang.[9]
Periodesasi
perang salib
1) Periode
pertama (1096 M – 1144 M)
Pada
periode ini perang berlangsung selama tiga tahun. Dan pada periode ini tentara
salib dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar.
Pada tanggal 18 juni 1097 mereka berhasil menaklukan Nicea dan tahun 1098 M
mereka menguasai Raha (Edessa). Disinilah mereka mendirikan kerajaan Latin 1
dengan Baldawin sebagai raja.
Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai
Antiochea dan mendirikan kerajaan Latin 11 di Timur, Bohemond dilatik menjadi rajanya. Mereka juga
berhasil menduduki Bait Al Maqdis pada tanggal 15 juli 1099 M dan mendirikan
kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait Al Maqdis
itu, tentara salib melanjutkan ekspansinya, mereka menguasai kota Akka pada
tahun 1104 M, Tripoli pada taun 1109 M, dan kota Tyre pada tahun 1124 M. Di
Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, dengan rajanya Raymond.
2) Periode
kedua (1144 M -1192M)
Periode
ini disebut periode reaksi umat. Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak
berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah dan Edessa pada tahun 1144 M.
Namun, ia wafat tahun 1146. Tugasnya dilanjutkan oleh putranya, Nuruddin Zanki.
Nuruddin Zanki berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada
tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan
Edessa ini menyebabkan orang-orang kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus
Eugenius III menyerukan perang suci perang suci yang disambut positif oleh raja
Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan salib untuk
merebut wilayah kristen di Syria. Akan tetapi, gerakan maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki, sehingga mereka
tidak berhasil memasuki Damakus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan
diri pulang ke negerinya. Nuruddin Zanki wafat pada tahun 1174 M, pimpinan
perang kemudian dipegang oleh Shalah Al-Din Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan
dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1175 M.
Hasil
peperangan Shalah Al-Din yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalam yang
berlangsung selama 88 tahun berakhir.[10]
Jatuhnya
Yerussalam ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib.
Mereka pun menyusun balasan yang dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja
Jerman, Richard The Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Prancis.
Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari
Shalah Al-Din, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu
kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada
tanggal 2 November 1192 M,antara salahudin al-ayyubi dengan tentara salib
mengadakan perjanjian yang disebut Shulh al-Rahman dengan isi:
i.
Baitulmakdis di bawah kendali kaum
muslimin dengan syarat kaum kristen tidak dihalangi ziarah kesana.
ii.
Kaum salib melindungi pantai Syam
iii.
Tanda-tanda agama kristen yang dirampas
islam dikembalikan
3) Periode
ketiga(1193M – 1291M)
Pada
periode ini tentara salib dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini
mereka berhasil merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan
mendapat bantuan dari orang-orang kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka
berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah pada saat itu Al-
Malik Al-Kamil membuat perjanjian dengan Frederick.
Isi
perjanjian tersebut antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara
Al-Malik Al-Kamil melepaskan palestina, Frederick menjamin keamanan kaum
musliminin disana dan Frederick tidak mengirimkan bantuan kepada kristen di
Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestinsa dapat direbut kembali oleh
kaum muslimin pada tahun 1247 M, dimasa pemerintahan Al-Malik Al-Shalih,
penguasa mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang
menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah, yang dipimpin Baybars, dan Qalawun. Pada
masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin.[11]
Dampak
dari perang salib
Perang
salib merupakan penyebab lemahnya pemerintahan Abbasiyah, karena kosentrasi dan
perhatian Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara Salib. Walaupun
umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun
kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di
wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam
menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi
malah terpecah belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari
pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
b. Perang
Mongol
Serangan
Mongol merupakan faktor eksternal kehancuran bani Abbasiyah di Baghdad.
Semuanya dimulai dari keinginan raja Mongolia yang bernama Mangu untuk
memeperluas wilayah kekuasaanya. Maka, raja Mangu memerintahkan Kubalai untuk
penyerangan ke wilayah timur, sedangkan ke arah barat raja Mangu memerintahkan
Hulagu untuk menaklukan kekhilafaan Islam.
Latar belakang Hulagu berminat sekali
menghancurkan kekhilafaan Islam
dikarenakan dua hal, kebenciannya terhadap Islam, di mana hal ini
ditimbulkan oleh istrinya yang beragama kristen, dan karena janji raja Mangu
kepada raja Armenia untuk menyerahkan Jerussalem kepada orang-orang Salib,
apabila Mangu berhasil menumbangkan kekuasaan Islam. Disebutkan juga bahwa
Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak
dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di
kantong-kantong ahl al-kitab.[12]
Pada
10 Februari 1258 M. Benteng Baghdad ditembus pasukan Hulagu, dan kemudian
Baghdad dihancur luluhkan. Khalifah Bani
Abbasiyah yang terakhir beserta keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh,
buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Trigis,
sehingga berubalah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam
kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.[13]
Kemudian
bangsa Mongol menjarah kota, membakar madrasah-madrasah, menghancurkan
masjid-masjid, dan istana-istana. Begitu ganasnya penyerangan itu dilakukan
sampai terbunuh jutaan kaum muslimin. Pada akhirnya mereka juga membunuh
seluruh warga Abbasiyah dengan cara membungkus mereka dengan karpet dan
membiarkan mereka diinjak-injak oleh kuda yang dibebani barang jarahan yang
terdiri dari seluruh kekayaan Baghdad, termasuk emas, intan, mutiara dan batu
permata yang takterhingga banyaknya.
Inilah
hari yang sangat menyedihkan bagi umat Islam sedunia, sebab kehancuran politik
Baghdad sama juga hancurnya politik Islam kala itu. Dengan demikian, lenyaplah
dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran penting dalam percaturan
kebudayaan dan peradaban Islam secara gemilang.[14]
BAB 111
KESIMPULAN
Kemunduran Daulah Abbasiyah disebabkan
oleh beberapa faktor, faktor internal dan faktor eksternal. Adapun fakto-faktor
internalnya, yaitu luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah, sementara
komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan, ketergantungan khalifah kepada
angkatan bersenjata sangat tinggi, keuangan negara sangat sulit, karena biaya
yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Di samping itu, ada pula
faktor-faktor yang lain, yaitu masa
disintegrasi, persaingan antarbangsa, kemerosotan ekonomi, dan konflik
keagamaan.
Adapun faktor-faktor eksternal yang
menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur, yaitu dampak dari
perang salib itu sendiri, yang membuat kosentrasi dan perhatian Abbasiyah
terpecah belah. Di samping itu, serangan bangsa mongol yang menghancurkan kota
Baghdad. Bahkan, Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir beserta keluarganya,
Al-Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar
dan dibuang ke sungai Tigris. Maka hancurlah dinasti Abbasiyah yang telah
memainkan peran penting dalam kebudayaan dan peradaban Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu, Su’ud. 2003. Islamologi Sejarah,
Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali,
K. 1997. Sejarah Islam (Tarikh Pra modern). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amin,
Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Badri,
Yatim.. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarata: PT Raja Grafindo Persada.
M.Abdul, Karim. 2007. Sejarah Pemikiran
Dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Muhammad,
Nurhakim. 2004. Sejarah & Peradaban Islam. Malang: UMM Press.
W.Montgomery, Watt. 1990. Kejayaan
Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana.
[1]
Badri Yatim, hal 80. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[2]
K. Ali, hal 291. 1997. Sejarah Islam (Tarikh Pra modern). Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
[3]
Abu Su’ud, hal 74. 2003. Islamologi
Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: Rineka
Cipta.
[4]
M.Abdul Karim, hal 161. 2007. Sejarah dan Peradaban Islam. Yogyakarta. Book
Poblisher.
[5]
www.wikipedia.org Bani Abbasiyah dan Persaingan antar Bangsa. Diakses tanggal
07 Oktober 2011
[6]
Samsul Munir Amin, hal 15. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
[7]
Muhammad Nurhakim, hal 72.2004. Sejarah & Peradaban Islam. Malang. UMM
Press.
[8]
W. Montgomery Watt, hal 165. 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh
Orientalis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
[9]
Saifudin, Zuhri. 2009. Buku Pegangan Sejarah Peradaban Islam. FAI UMS:
Surakarta
[10]
Saifudin, Zuhri. 2009. Buku Pegangan Sejarah Peradaban Islam. FAI UMS:
Surakarta
[11]
Badri Yatim, hal 77-79. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada..
[12]
Muh. Nurhakim, hal 74. 2004. Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press
[13]
Samsul Munir Amin, hal 156-157. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
[14]
Abu Su’ud, hal 74. 2003. Islamologi
Sejarah, Ajaran, dan Perannya dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Komentar
Posting Komentar